Kelahiran coklat KitKat di Inggris tetapi justru yang berhasil malah di Jepang. Tak ada turis yang tak beli KitKat saat pulang ke negaranya dari Jepang.
“Banyak banyak serinya, banyak banget jenisnya di Jepang tak ada dan tak bisa kita beli di Indonesia,” papar Yulis Ong seorang warga Indonesia pecinta KitKat yang ditemui JIEF Minggu ini (17/12/2017) di bandara Narita.
Bayangkan saja, di Jepang ada sedikitnya 300 jenis KitKat. Mulai dari coklat biasa, Matcha, blueberry, rasa ceri, rasa miso, rasa wasabi, apel, strawberry, raisin, keju, kacang, rasa sandwich dan sebagainya.
Kaya akan variasi, dan sangat populer karena agak berbeda dengan yang kita dapatkan di luar negeri. Kitkat yang baru diumumkan juga umumnya menjadi topik di media luar negeri .
Variasi Kitkat sedikitnya 300 macam saat ini bisa mengejutkan teman di luar Jepang, “Lha, kok ada rasa ini sih beli di mana?”
Tentu saja sang teman baru pulang dari Jepang makanya bisa membawa variasi terbarunya tersebut yang pasti mengagetkan orang luar Jepang.
Harganya pun berbeda di Inggris sekitar 660 – 2050 yen. Namun kalau kita beli di Amazon Jepang satu buah hanya skeitar 50 yen saja, sangat murah.
Keberhasilan ini tak heran munculnya toko utama Ginza “kit cut chocolate” yang tentu dijua produknya dengan kualitas dan variasi lain lagi serta target konsumen lain lagi oleh si pembuat Nestle Japan.
Kitkat lahir sekitar tahun 1930an dari sebuah perusahaan lokal bernama “Rawley’s” di York di utara Inggris. Kemudian diakuisisi oleh Nestle, perusahaan terkemuka di Swiss pada tahun 1980.Lalu mengapa Kitkat malah sukses di Jepang ketimbang di tempat lahirnya di Inggris?
Rupanya karena strategi penjualan yang hebat sekali. Bagaimana strategi tersebut?
Kitkat punya strategi tema tertentu misalnya saat musim ujian sekolah, maka Kitkat mempromosikan makan coklat tersebut “pasti menang” bisa sukses lulus ujian.
Promosi dengan cara tema tersebut tampaknya berhasil sehingga banyak orang membeli Kitkat menjelang ujian di samping rasanya juga enak renyah di makan dengan wafers di dalamnya.
Demikian pula Kitkat masuk ke dalam budaya suvenir (oleh-oleh) dan pemikiran gastronomi Jepang ini menyatu dan berkontribusi terhadap penjualan.
Pastinya potongan Kitkat juga terbatas dan terbatas pada periode tertentu saja maupun topikal.
Jadi kalau periodenya habis, ya orang tak bisa beli lagi KitKat variasi tersebut. Akhirnya pembeli kesal juga. Maka kalau ke luar variasi yang baru, buru-buru membelinya supaya tak kehabisan lagi.
Dengan cara topikal tersebut, KitKat juga bisa masuk ke berbagai lapisan masyarakat misalnya menjalin kerjasama dengan bidang produk lain misalnya penjual pisang.
Maka muncullah KitKat pisang dan kalau perlu mencantumkan pula nama brand produk pisang yang dijualnya sehingga terjadi “win-win solutions” bagi semua pihak.
Demikian pula dengan produk karakter misalnya HelloKitty, bisa pula muncul KitKat HelloKitty pada akhirnya, menjadi Hello KitKat. Kerjasama Hello Kitty dan KitKat terjadi tahun 2016 di Singapura.
Berbagai variasi inilah yang ternyata justru membuat KitKat semakin sukses di Jepang ketimbang di negara asalnya dan siapa pun yang berada di jepang, pasti beli produk baru tersebut.
Pasti banyak warga Indonesia berpikir, ini kesempatan emas bagi Indonesia pula untuk mempromosikan Indonesia menggunakan KitKat. Silakan saja kalau itu memang menguntungkan Indonesia, tinggal hitung-hitungan biaya saja dengan pihak Nestle.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.