Sejumlah ibu yang memiliki anak kecil di Jepang kecewa karena ditolak aplikasinya untuk tempat penitipan anak (TPA).
Penolakan ini terjadi karena jumlahnya sudah terlalu banyak. Bahkan satu tempat hanya menerima 6 anak dari 120 aplikasi yang ingin anaknya dimasukkan ke TPA (hoikujo) tersebut.
“Kalau melihat data Kementerian Kesehatan Jepang per 1 April 2016, jumlah ibu yang menanti tempat supaya anaknya bisa dimasukkan ke TPA ada 23,553 orang,” ungkap sumber JIEF di Kementerian Kesehatan Jepang, Jumat (17/2/2017).
Dari penelitian pihak Kementerian Kesehatan, dari 5.500 ibu rumah tangga, ternyata 1.000 ibu rumah tangga yang masih hamil pun sudah mem-booking (pesan) tempat di TPA supaya nanti setelah dua atau tiga tahun usia anaknya sudah bisa dititipkan di tempat itu.
“Hal itu dilakukan karena jumlah TPA kurang di Jepang. Tapi di semua tempat (kota besar) di semua perfektur pasti ada di Jepang,” tambahnya.
Jumlah pekerja TPA di Jepang saat ini tercatat sekitar 2,5 juta orang. Jumlah tersebut sangat kurang melihat kecenderungan peningkatan jumlah anak yang dititipkan di TPA, mulai tahun 2014 menunjukkan kenaikan terus menerus.
Tempat penitipan anak sangat dibutuhkan di Jepang karena tidak ada pembantu di Jepang, sebab biaya membayar pembantu atau pengasuh anak satu jam sekitar Rp 250.000.
Sedangkan bila anak tidak dititipkan, orangtua tidak bisa bekerja terutama sang ibu. Sedangkan penghasilan dari suami saja masih kurang karena harus menghidupi juga istri dan anak.
“Masyarakat kini agak terusik dengan TPA, demikian pula masa cuti hamil serta masa cuti untuk persiapan anak, mencari TPA dan cari libur untuk diri sendiri. Jumlah waktu sudah sangat tidak memungkinkan bagi dirinya sendiri,” kata Seorang profesor Universitas kota Tokyo, Hiroko Inokuma.
Demikian pula jumlah tenaga TPA per tahun diperkirakan berkurang 100.000 orang antara lain karena merasa tidak cukup gaji untuk membiayai hidupnya.
Itulah sebabnya banyak TPA meminta kepada pemerintah agar subsidi ditambah bagi peningkatan kesejahteraan dan gaji mereka.
TPA di Jepang banyak yang mendapat subsidi dari pemda setempat. Ada TPA yang resmi, mendapat subsidi pemerintah, ada TPA swasta dikelola swasta sendiri dianggap tidak resmi karena bersifat hanya membantu masyarakat sekeliling dan biasanya dilakukan para volunteer (tenaga sukarela).
Karena kekurangan TPA, masyarakat Jepang kini banyak yang tak peduli lagi dengan soal resmi atau tidak resmi.
“Yang penting anak saya bisa dititipkan di suatu tempat yang baik bagi anak saya, aman, sudah cukup, tak perlu resmi apa tidak resmi. Kalau tidak demikian saya tak bisa bekerja, tak bisa dapat uang, matilah kehidupan saya,” ungkap seorang ibu, Kurosawa (32) kepada JIEF, Jumat (17/2/2017).
Seorang pemimpin sebuah yayasan di Florence, Hiroki Komazaki (37) mengingatkan tugas pemerintah untuk memperhatikan TPA tersebut karena tercantum di dalam UU atau peraturan di Jepang.
“Di semua kota pasti ada TPA, tidak mungkin ada kota yang tidak ada. Itu karena diharuskan dalam peraturan perundangan yang ada di Jepang dan untuk itu pemda setempat harus bisa membantu sepenuhnya bagi masyarakatnya dengan TPA yang ada tersebut agar masyarakat terbantu kehidupannya,” kata dia.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan tingkat rata-rata menikah pertama kali wanita di Jepang adalah 29,4 tahun. Sedangkan punya anak pertama rata-rata di usia 30,7 tahun. Hal ini berarti 4 tahun lebih lambat ketimbang 30 tahun yang lalu.
“TPA jelas terkait dengan waktu melahirkan pula sehingga tambah lama TPA harus menerima anak-anak yang orangtuanya terlambat melahirkan,” kata sumber JIEF.
Sementara survei dari kantor Perdana Menteri Jepang menunjukkan data orangtua baik laki maupun wanita yang memiliki anak dan harus dititipkan ke TPA sebanyak 253.000 orang dengan usia rata-rata 40 tahun.
Hal itu berarti berdampak kepada masalah lapangan kerja di mana ternyata semakin banyak dibutuhkan lapangan pekerjaan bagi pasangan usia tua (40 tahun) di Jepang saat ini.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.