PTUN Bandung mencabut izin lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara di Cirebon yang saat ini sedang mengerjakan tahap kedua, Juni lalu.
Namun Bank Kerjasama Internasional Jepang (JBIC) tetap memasok dananya November 2017 lalu ke proyek tersebut.
“Pihak JBIC telah membiayai dua proyek PLTU yang tahap pertama dan tahap kedua ini,” kata Riki Rasi Sonia, Kamis (7/12/2017) di depan sekitar 30 warga Jepang pada sebuah seminar di sebelah Universitas PBB di Tokyo.
Menurutnya, rakyat Cirebon dan pihaknya beberapa kali telah melaporkan masalah ini baik lisan maupun tertulis ke pihak JBIC.
“Bahkan pihak JBIC sudah satu kali ketemu kita tahun lalu di Cirebon dan bertemu kita serta petani dan nelayan Cirebon,” kata dia.
Namun kedatangan JBIC mengecewakan Riki yang juga ikut bertemu saat itu.
“Saya kecewa. Apa yang dikatakan JBIC bukan mendengar keluhan kita malah menawarkan CSR (Corporate Social Responsibility) dalam artian kita harus damai. Padahal jelas tuntatan kita agar PLTU tahap kedua itu ditutup karena telah merenggut mata pencaharian kita,” kata Riki.
Riki dengan tegas mengungkapkan bahwa masyarakat Cirebon tidak butuh CSR atau kompensasi apa pun.
“Kami tak butuh CSR, kompensasi atau apapun,” katanya mewakili masyarakat Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon tempat dioperasikannya PLTU batu bara tersebut.
Dari situlah pihak JBIC kelihatan sekali tak ada itikad baik untuk hentikan investasinya.
“Setidaknya kita pernah usulkan untuk melakukan investigasi 6 bulan turun ke lapangan ke lokasi agar mereka tahu,” kata dia.
Padahal fakta yang ada dapat terlihat kemarahan masyarakat setempat akan adanya proyek PLTU tersebut karena petani dan nelayan setempat merasakan dampak sangat buruk akibat operasi PLTU pertama yang sudah lima tahun saat ini.
“Waktu itu kita tuntut JBIC melakukan investigasi 6 bulan turun ke lokasi agar mereka tahu, tak ada jawaban sama sekali atau tidak merespons positif hal tersebut,” tambahnya.
Oleh karena itu Riki merasa curiga ada permainan antara JBIC dan pihak lain.
“Kami curiga ada main mata antara okum staf JBIC dengan pihak perusahaan PLTU, dan pihak pemerintah kita. Mereka ingin bagaimana caranya agar proyek tetap berlanjut,” kata dia.
Padahal hukum jelas membatalkan izin lingkungan hidup proyek kedua PLTU tersebut April 2017.
“Jelas hukum nyatakan pembangunan PLTU itu ilegal melanggar hukum. Tetapi Jepang tetap membiayai pembangunan yang jahat melanggar hukum itu,” ungkapnya.
Bahkan JBIC mencairkan uangnya November 2017 untuk proyek tahap kedua PLTU tersebut.
“Bagi kami itu adalah pelecehan bukan hanya hukum tapi juga pelecehan terhadap masyarakat Cirebon dan Indonesia,” kata dia.
Sementara itu Hozue Hatae dari FoE Japan, juga menjelaskan bahwa akhir tahun 2016 JBIC melakukan pengkajian di lapangan dan 19 April 2017 keputusan PTUN Bandung memutuskan pencabutan izin lingkungan hidup proyek PLTU tahap kedua.
“Tapi kemudian JBIC melakukan tanda tangan kontrak dengan proyek tersebut dan JBIC menyatakan tidak tahu adanya keputusan PTUN tersebut,” kata Hatae.
Bahkan setelah tahu ada keputusan tersebut dan tahu adanya masalah di Cirebon itu, JBIC tetap mencairkan dana pertamanya untuk proyek PLTU kedua November 2017.
“Jelas ini proyek yang juga berisiko terhadap Jepang karena ilegal dan JBIC tetap tak mempedulikan hal ini, berbahaya sekali hal ini bagi Jepang sebenarnya,” kata dia.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.